PENGELOLAAN AIR DALAM BUDIDAYA JAGUNG
Kegiatan budidaya jagung di Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih bergantung pada air hujan, maka untuk mensiasati hal tersebut, pengelolaan air harus diusahakan secara optimal, yaitu tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran, sehingga efisien dalam upaya peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam dan peningkatan intensitas pertanaman. Selain itu, antisipasi kekeringan tanaman akibat ketidak cukupan pasokan air hujan perlu disiasati dengan berbagai upaya, antara lain pompanisasi.
Jagung merupakan tanaman dengan tingkat penggunaan air sedang, berkisar antara 400-500 mm (FAO 2001). Namun demikian, budidaya jagung terkendala oleh tidak tersedianya air dalam jumlah dan waktu yang tepat. Khusus pada lahan sawah tadah hujan dataran rendah, masih tersisanya lengas tanah dalam jumlah yang berlebihan akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Sementara itu, penundaan waktu tanam akan menyebabkan terjadinya cekaman kekurangan air pada fase pertumbuhan sampai pembentukan biji. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi pengelolaan air bagi tanaman jagung.
Sasaran dari pengelolaan air adalah tercapainya empat tujuan pokok, yaitu: (1) efisiensi penggunaan air dan produksi tanaman yang tinggi, (2) efisiensi biaya penggunaan air, (3) pemerataan penggunaan air atas dasar sifat keberadaan air yang selalu ada tapi terbatas dan tidak menentu kejadian serta jumlahnya dan (4) tercapainya keberlanjutan sistem penggunaan sumberdaya air yang hemat lingkungan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan air untuk tanaman jagung yang banyak dibudidayakan di lahan kering dan tadah hujan, pengelolaan air penting untuk diperhatikan.
Pola Tanam Berdasarkan Tingkat Ketersediaan Air
Budidaya jagung umumnya dilakukan pada lahan kering dan lahan sawah. Tipe lahan dibedakan menjadi lahan kering beriklim kering, lahan kering beriklim basah, lahan tadah hujan, dan lahan sawah irigasi. Masing-masing tipe lahan tersebut menggambarkan pola tanam jagung sesuai dengan ketersediaan air yang mencirikan tipe lahannya.
Berdasarkan peluang kejadian hujan, pola tanam jagung umumnya adalah:
-Lahan kering beriklim kering : jagung - bera - bera jagung - jagung - bera
-Lahan kering beriklim basah : jagung - jagung - jagung- jagung - jagung - bera
-Lahan tadah hujan : padi - bera - bera padi - jagung - bera
-Lahan sawah irigasi : padi - padi - jagung- padi - jagung - jagung
Pada lahan kering beriklim kering dataran rendah, pola tanam jagung- jagung-bera dapat diterapkan apabila terdapat jaminan tambahan air irigasi melalui air tanah dangkal. Drainase lahan diperlukan untuk mempercepat waktu tanam jagung setelah panen padi. Untuk pola tanam padi-jagung-jagung pada lahan sawah tadah hujan, selain drainase juga diperlukan tambahan irigasi dari sumber air tanah dangkal atau air permukaan (Prabowo et al. 1996).
Hubungan Jumlah Pemberian Air dengan Hasil Jagung
Ketepatan pemberian air sesuai dengan tingkat pertumbuhan tanaman jagung sangat berpengaruh terhadap produksi. Periode pertumbuhan tanaman yang membutuhkan adanya pengairan dibagi menjadi lima fase; yaitu fase pertumbuhan awal (selama 15-25 hari), fase vegetatif (25-40 hari), fase pembungaan (15-20 hari), fase pengisian biji (35-45 hari) dan fase pematangan (10-25 hari).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman jagung lebih toleran terhadap kekurangan air pada fase vegetatif (fase 1) dan fase pematangan/masak (fase 4). Penurunan hasil terbesar terjadi apabila tanaman mengalami kekurangan air pada fase pembungaan, bunga jantan dan bunga betina muncul, dan pada saat terjadi proses penyerbukan (fase 2). Penurunan hasil tersebut disebabkan oleh kekurangan air yang mengakibatkan terhambatnya proses pengisian biji karena bunga betina/tongkol mengering, sehingga jumlah biji dalam tongkol berkurang. Hal ini tidak terjadi apabila kekurangan air terjadi pada fase vegetatif. Kekurangan air pada fase pengisian/pembentukan biji (fase 3) juga dapat menurunkan hasil secara nyata akibat mengecilnya ukuran biji. Kekurangan air pada fase pemasakan/pematangan (fase 4) sangat kecil pengaruhnya terhadap hasil tanaman.
Kebutuhan Air Tanaman
Dalam perencanaan pengairan, yang perlu mendapat perhatian adalah kebutuhan air/evapotranspirasi tanaman. Evapotranspirasi tanaman dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu evapotranspirasi potensial (ETP) dan evapotranspirasi aktual (ETA). Evapotranspirasi Potensial merupakan jumlah air yang ditranspirasikan dalam satuan unit waktu oleh tanaman. ETP dapat diinterpretasikan sebagai kehilangan air oleh tanaman yang diakibatkan oleh faktor klimatologis.
Evapotranspirasi Aktual (ETA) merupakan tebal air yang dibutuhkan untuk mengganti sejumlah air yang hilang melalui evapotranspirasi pada tanaman yang sehat. Nilai ETA adalah nilai kebutuhan air yang harus diberikan ke tanaman, atau merupakan dasar dalam penentuan kebutuhan air bagi tanaman di lapang.
Pemberian Air di Pertanaman
Pengairan tanaman dalam kondisi air tersedia dalam jumlah yang cukup, setelah dilakukan penanaman, lahan sebaiknya diairi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar perkembangan akar tanaman menjadi baik. Pengairan tanaman dalam kondisi defisit air mempertimbangkan pengaruh besarnya cekaman kekurangan air terhadap pertumbuhan tanaman jagung dan hasil tanaman, diperlukan pengaturan pemberian air secara terencana baik dalam jumlah maupun kedalaman pemberian khususnya pada kondisi kekurangan air.
Dengan memperhitungkan tingkat Evapotranspirasi Potensial (ETP) dalam pemberian air irigasi, perkiraan deplesi air pada fase-fase pertumbuhan tanaman adalah 40% pada fase pertumbuhan awal, antara 55-65% pada fase 1, fase 2 dan fase 3, serta 80% pada fase pemasakan. Dalam kondisi tidak ada hujan dan ketersediaan air irigasi sangat terbatas maka pemberian air bagi tanaman dapat dikurangi dan difokuskan pada periode pembungaan (fase 2) dan pembentukan biji (fase 3). Pemberian air selama fase vegetatif dapat dikurangi. Dengan irigasi yang tepat waktu dan tepat jumlah maka diharapkan akan didapatkan hasil jagung 6-9 t/ha (kadar air 10-13%).
Metode Pemberian Air
Linsley dan Fransini (1986) membagi metode pemberian air bagi tanaman jagung ke dalam lima metode yaitu:
1. model genangan
2. model alur (Furrow)
3. model bawah permukaan ( sub surface)
4. model pancaran ( sprinkler)
5. model tetes (drip)
Di antara model tersebut, pemberian air dengan metode alur (furrow) paling banyak diterapkan dalam budi daya jagung. Dengan metode ini air diberikan melalui alur-alur di sepanjang baris tanaman. Pemberian air dilakukan setelah benih ditanam, kecuali bila tanah dalam keadaan lembab, dibiarkan satu malam dan pada pagi harinya sisa air dibuang.