Kemiri adalah salah satu tanaman tropis penting yang akrab di dapur Nusantara. Namun, nilai strategisnya jauh melampaui sekadar perannya sebagai bumbu masakan. Biji kemiri kaya minyak, daunnya mengandung senyawa bioaktif, pohonnya adaptif di berbagai kondisi lahan tropis, dan rantai nilainya membentang dari hulu hingga hilir: mulai dari benih, pembibitan, budidaya, hingga pemanfaatan dalam pangan, kosmetik, farmasi, bahkan bioenergi.
Taksonomi dan Morfologi
Tanaman kemiri (Aleurites moluccana) termasuk keluarga Euphorbiaceae dan terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pohon kemiri tumbuh dengan ketinggian 15–25 meter, memiliki tipe tajuk yang rimbun. Daunnya lebar berbentuk menjantung atau menjari, bunganya kecil berwarna putih kekuningan, sedangkan buahnya bulat dengan cangkang keras yang membungkus biji berminyak.
Manfaat Kemiri
Kemiri memiliki manfaat yang beragam. Mulai dari bumbu masakan, bahan pengobatan tradisional, kosmetik, hingga sumber energi alternatif.
Kemiri mengandung senyawa metabolit sekunder penting seperti saponin, flavonoid, polifenol, serta minyak lemak. Biji kemiri memiliki kadar minyak tinggi dengan rendemen mencapai 55–65%.
Minyak kemiri telah lama digunakan dalam perawatan rambut. Kandungan asam linolenat dan asam linoleat mampu merangsang pertumbuhan jaringan kulit dan rambut. Kandungan saponin, flavonoid, dan polifenol berkhasiat menyuburkan rambut. Knandungan asam oleat dalam minyak kemiri juga berperan memperlambat kerontokan sekaligus mempercepat pertumbuhan rambut.
Bibit Kemiri
Menurut SNI 8025:2014 tentang Mutu Bibit Tanaman Hutan, penentuan kualitas bibit dilakukan berdasarkan tiga parameter utama, yaitu tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun. Untuk jenis kemiri (Aleurites moluccana), kriteria mutu bibit ditetapkan dengan standar minimal tinggi 45 cm, diameter batang 5 mm, dan jumlah daun sedikitnya enam helai. Bibit dengan tinggi ≥ 45 cm menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang baik dan lebih adaptif ketika dipindahkan ke lapangan, sementara diameter batang ≥ 5 mm menandakan batang kokoh sehingga tidak mudah rebah. Jumlah daun yang cukup, yaitu minimal enam helai, juga menjadi indikator kapasitas fotosintesis yang memadai untuk mendukung kelangsungan hidup bibit setelah ditanam.
Dengan adanya standar ini, kualitas bibit kemiri dapat dijaga agar seragam dan memiliki peluang hidup lebih tinggi di lapangan.
Agronomi: Syarat Tumbuh dan Budidaya
Kemiri tumbuh baik pada tanah kapur maupun berpasir di daerah pantai, juga dapat berkembang di tanah podsolik maupun latosol yang kurang subur hingga subur. Tanaman ini dapat hidup pada ketinggian 0–800 mdpl, bahkan hingga 1.200 mdpl di beberapa daerah. Kemiri dapat tumbuh di lahan datar, bergelombang, hingga bertebing curam.
Dari sisi iklim, kemiri cocok di daerah beriklim kering maupun basah dengan curah hujan 1.500–2.400 mm per tahun dan suhu udara 20–27 °C. Perbanyakan tanaman kemiri umumnya dilakukan secara generatif maupun vegetatif. Penanaman biji langsung di lapangan memiliki tingkat tumbuh sekitar 57%, sedangkan melalui penyemaian dapat mencapai 78%.
Tanaman kemiri mulai berbuah pada usia 3–4 tahun jika berasal dari biji, 2 tahun bila dari bibit vegetatif, bahkan 1 tahun bila hasil okulasi dengan perawatan baik. Panen buah bisa dilakukan 2–3 kali setahun. Buah dipanen pada kemasakan 75% untuk tujuan konsumsi. Untuk tujuan produksi benih, buah dibiarkan jatuh alami dari pohon. Pohon kemiri memiliki potensi menghasilkan panen pertama hingga 10 kg biji kupasan per pohon.
Sumber Benih Kemiri di Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki Kebun Sumber Benih (KSB) Kemiri yang berlokasi di Mangunan, Kapanewon Dlingo, Kabupaten Bantul. Kebun ini ditetapkan sebagai sumber benih resmi untuk mendukung penyediaan bibit kemiri bermutu. Benih tersebut dipakai dalam program rehabilitasi hutan dan lahan, pengembangan agroforestri, maupun usaha tani rakyat.
Dengan adanya kebun sumber benih ini, Yogyakarta tidak hanya menjamin ketersediaan benih unggul secara berkelanjutan, tetapi juga memperkuat peran kemiri sebagai salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi sekaligus ekologis.