
Jambu mete (Anacardium occidentale) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Indonesia. Nilai ekonomi yang tinggi terdapat pada biji mete yang yang dikenal sebagai bahan pangan premium baik sebagai kudapan maupun olahan. Tidak hanya digemari konsumen dalam negeri, mete juga memiliki permintaan yang tinggi di pasar internasional. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, sebagian besar produksi mete nasional berasal dari lahan yang digarap oleh petani kecil.
Sayangnya, produktivitas mete nasional masih jauh dari optimal. Produksi jambu mete di Indonesia masih belum bisa memenuhi permintaan pasar. Salah satu penyebab utamanya adalah penggunaan benih dari sumber genetik yang kurang unggul. Mayoritas tanaman mete yang ada lahan berasal dari biji, bukan berasal dari bibit bersertifikat. Kondisi ini membuat produktivitas sulit ditingkatkan. Padahal, dengan sedikit sentuhan teknologi sederhana pada bahan tanam, produksi mete bisa meningkat hingga tiga kali lipat. Salah satu metode yang bisa diterapkan untuk mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas Adalah metode top working.
Top working merupakan teknik penyambungan yang dilakukan langsung di lapangan. Metode ini sebenarnya sudah banyak diterapkan pada berbagai jenis tanaman buah-buahan, termasuk jambu mete. Prinsipnya adalah memanfaatkan batang bawah dari tanaman yang sehat, meskipun produksinya rendah, lalu menyambungkannya dengan batang atas dari varietas unggul. Menurut Rudi Suryadi, S.P., M.Si., peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), varietas unggul bisa dibedakan menjadi dua, yakni unggulan lokal yang hanya optimal di daerah asalnya dan unggulan nasional yang mampu tumbuh baik di berbagai wilayah Indonesia.
Beberapa varietas jambu mete unggulan nasional yang telah teruji di antaranya adalah Balakrisnan 02 (B02) dengan produktivitas 12,15 kilogram per pohon per tahun pada umur tanaman 11 tahun, varietas Muna yang mampu menghasilkan 15,67 kilogram per pohon per tahun pada umur 15 tahun, serta varietas Meteor YK yang tetap stabil berproduksi hingga 15,6 kilogram per pohon per tahun pada umur 40 tahun. Menurut Rudi, penggunaan varietas unggul adalah salah satu kunci penting untuk menyelesaikan masalah rendahnya produktivitas jambu mete dalam negeri.
Proses top working dimulai dengan memangkas batang bawah dan menyisakan batang utama setinggi kurang lebih 1,5 meter. Pemangkasan hanya pada cabang atas, disisakan daun agar proses fotosintesis tetap berlangsung. Jika seluruh bagian dipangkas, tanaman bisa mati. tunas-Tunas baru akan tumbuh di sekitar bagian yang dipangkas dalam waktu 2- 2,5 bulan setelah pemangkasan. Dari tunasyang tumbuh, dipilih enam hingga delapan tunas dengan kriteria sehat, posisi tumbh melingkar rata di sekeliling batang. Tunas terbaik yang sudah dipilih digunakan sebagai bahan tanam untuk disambungkan.
Sebulan setelah penyambungan, dilakukan seleksi kembali dengan memilih empat tunas terbaik yang sehat dan tersebar ke berbagai arah, sementara tunas lainnya dipangkas. Pada umur satu tahun setelah penyambungan, dilakukan pemangkasan cabang yang tumbuh dari batang bawah agar seluruh nutrisi dan energi tanaman terkonsentrasi pada tunas hasil sambung. Dengan perlakuan ini, tanaman mete sudah mulai berproduksi pada umur tiga tahun meskipun hasilnya belum maksimal. Produksi baru akan melimpah dan stabil ketika tanaman memasuki usia sekitar sepuluh tahun.
Penerapan teknik top working diperkirakan dapat meningkatkan produksi mete hingga tiga kali lipat dibandingkan tanpa tunas sambung. Dibanding dengan menanam ulang dari awal, metode top working jauh lebih cepat dan efisien untuk meningktkan produktivitas jambu mete. Selama batang bawah masih sehat, sambungan dengan varietas unggul dapat menjadikan tanaman jauh lebih produktif. Dengan penerapan teknologi sederhana ini, masa depan produksi jambu mete di Indonesia berpotensi menjadi lebih cerah dan menjanjikan.
