Pesatnya pertumbuhan populasi dunia menuntut peningkatan ketersediaan pangan yang besar pula. Berbagai langkah ditempuh oleh negara-negara di dunia dalam mencukupi kebutuhan pangan akibat lonjakan populasi tersebut, salah satunya adalah dengan rekayasa genetika di bidang pertanian yang menghasilkan produk tanaman transgenic atau Genetically modified Organism (GMO). Tanaman transgenic (GMO) pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat setelah Herbert Boyer dan Stanley Cohen pada tahun 1973 berhasil untuk pertama kalinya mengembangkan transgenik. Pertumbuhannya selanjutnya menjadi sangat pesat, dimana manfaatnya dalam menghasilkan produksi yang tinggi dan konsisten antara tahun 1996 – 2007 berdampak petani terus melanjutkan penanaman dengan menggunakan tanaman hasil transgenik (GMO) dalam pertanamannya. Pada tahun 2007, jumlah negara yang menanam tanaman transgenik mencapai 23 negara yang meliputi 12 negara berkembang dan 11 negara maju. Negara – negara tersebut adalah Amerika Serikat, , Argentina, Brazil, Canada, India, China, Paraguay, Afrika Selatan , Uruguay, Pilipina, Australia, Spanyol, Mexico, Colombia, Chile, France, Honduras, the Czech Republic, Portugal, Jerman , Slovakia, Romania and Polandia. Dari tahun 1996 hingga 2007, proporsi area penanaman tanaman transgenik secara global yang ditanam oleh negara-negara berkembang meningkat secara konsisten setiap tahunnya. Pada tahun 2007, 43% dari area global tanaman biotek (naik dari 40% di tahun 2006, dan setara dengan 49.400.000 ha), ditanam di negara berkembang, dimana pertumbuhan antara tahun 2006 dan 2007 lebih tinggi (8,5 juta ha atau 21% pertumbuhan) dibandingkan di negara-negara industri (3,8 juta ha atau 6% pertumbuhan). Hal yang menjadi perhatian dimana lima Negara berkembang yang mewakili 40% populasi dunia berkomitmen terhadapproduk biotek/ transgenik. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang ikut meramaikan penanaman tanaman transgenik. Pengembangan tanaman transgenik yang telah digunakan di Indonesia meliputi jagung (Jawa Tengah), kapas (Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan), kedelai, kentang, dan padi (Jawa Tengah). Sementara itu, tanaman transgenik lainnya yang masih dalam tahap penelitian di Indonesia adalah kacang tanah, kakao, tebu, tembakau, dan ubi jalar. Hasil yang tinggi, konsisten, serta berbagai kelebihan yang dimiliki tanaman hasil rekayasa genetika tidaklantas tanpa menghasilkan pro dan kontra di kalangan ilmuwan, pemerhati lingkungan dan kesehatan. Ilmuwan Swiss menyimpulkan, tanaman jagung transgenik yang telah disisipi gen bakteri tanah Bacillus thuringiensis (Bt) penghasil racun yang mematikan bagi hama tertentu merugikan serangga bermanfaat dan racun Bt terakumulasi dalam tanah sehingga merugikan ekosistem tanah. Penanaman secara luas varietas Bt juga mempercepat terjadi evolusi resisten racun Bt pada hama serangga. Sekali hama menjadi resisten terhadap racun Bt, akan sulit mengefektifkan pengendalian hama secara hayati. Kalau itu terjadi serentak dan meluas, betapa "evolusi hijau" kedua akan terjadi. Tatanan ekosistem dan kelestarian hayati pun akan terganggu. Sementara ilmuwan protanaman transgenik bersikukuh, racun Bt cuma membunuh ulat tertentu, dan tidak mampu membunuh hewan lain maupun manusia yang mengkonsumsi jagung Bt. Contoh lain adalah varietas padi yang telah mengalami modifikasi genetik akan menghasilkan beras yang mengandung beta-karoten ternyata pada saat bersamaan memunculkan karateristik lain, yaitu meningkatnya kandungan prolamin yang dapat mengakibatkan perubahan kualitas gizi dan bahaya alergi bagi siapa pun yang mengonsumsinya. Kekhawatiran yang sering muncul adalah dampak alergis yang telah terbukti terjadi akibat konsumsi produk transgenik. Pola tanam produk pertanian di Indonesia areal kecil dikelilingi oleh berbagai gulma, dengan adanya sifat cross-polination dari GMO maka dikhawatirkan akan bermunculan gulma baru yang lebih resisten. Bila ditinjau dari sisi manfaat, tanaman transgenik bisa dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki kandungan nutrisi atau komponen gizi yang lebih baik daripada pangan sejenis yang non-transgenik. Secara umum, tanaman transgenik yang telah disetujui untuk pangan terbukti memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap penyakit, ketahanan yang lebih baik terhadap herbisida, memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik dan daya simpan yang lebih lama ketimbang tanaman sejenis yang non-transgenik. Terlepas dari pro dan kontra tentang produk tanaman transenik (GMO), beberapa negara maju Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Australia, New Zealand, dan beberapa negara lain telah memberlakukan persyaratan tentang pengujian GMO pada produk yang dikonsumsi termasuk benih tanaman. Di Eropa, makanan dan produk pakan yang mengandung atau berasal dari hasil transgenik harus diberi label. Ambang batas GMO yang ditetapkan tiap negara untuk tiap negara berbeda – beda, Uni Eropa 0,9%. Jepang 5%, Korea Selatan 3%, dan Australia dan Selandia Baru 1%. Pengujian terhadap produk hasil transgenik termasuk benih tanaman menjadi issu penting yang mestinya disyaratkan untuk lolosnya suatu produk dilepas ke pasaran untuk dikonsumsi publik, sehingga setiap produk yang dibuat dari bahan transgenik atau olahannya dan dijual ke pasaran, diberi label keterangan kandungan bahan transgenik tersebut. Di Indonesia, hal tersebut telah diatur dalam UU Pangan No. 7/1996, dimana pasal 13 ayat 1 dan 2 mengatur kewajiban produsen untuk menguji keamanan pangan yang dihasilkan proyek rekayasa genetika sebelum diedarkan ke masyarakat. Namun yang menjadi permasalahan, di Indonesia belum ada badan yang berwenang menentukan keamanan pangan hasil rekayasa genetika untuk mengontrol produk transgenik yang beredar. Alhasil pemerintah belum dapat melakukan kajian untuk menetapkan bahan pangan produk transgenik apa yang boleh dan tidak boleh masuk ke Indonesia dan dikonsumsi manusia. Dalam bidang perbenihan, pengujian terhadap benih – benih tanaman hasil transgenik telah dilakukan beberapa negara untuk dicantumkan dalam label benih. ISTA sendiri sebagai induk organisasi yang menetapkan aturan – aturan dalam pengujian benih telah mulai mengkaji aturan tentang pengujian benih transgenik sejak tahun 2001 dengan dibentuknya ISTA GMO Task Force. ISTA GMO Task Force akan berkonsentrasi pada kegiatan mengembangkan system untuk mencapai keseragaman dalam pengujian untuk organisme transgenik (GMO), tidak hanya melalui keseragaman metodologi tetapi juga dengan pendekatan berbasis kinerja. (personal based approach). Uji profisiensi untuk menguji benih transgenik yang terkandung dalam benih konvensional telah dimulai sejak tahun 2002. Tujuan dari uji profisiensi adalah untuk menilai kemampuan suatu laboratorium untuk mendeteksi dan mengidentifikasi ada tidaknya benih transgenik dalam sampel benih konvensional, namun demikian ISTA tidak menetapkan metode tertentu yang harus digunakan laboratorium. Tiap laboratorium dapat memilih untuk menggunakan metode sendiri. Metode yang selama ini dilakukan untuk mendeteksi keberadaan organism transgngenik antara lain adalah dengan mengenali secara morfologi, yaitu dengan mengenali secara fisik benih-benih transgenic dalam suatu sampel benih konvensional, dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yaitu metode berdasarkan pada deteksi materi genetik (DNA), serta metode Enzim-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) yang mendeteksi protein asing dalam tanaman sebagai akibat dari penyisipan gen buatan. Issu tentang pentingnya pengujian pada benih transgenik semakin gencar didengungkan mengingat pentingnya seleksi terhadap benih – benih impor.
(Alfin Widiastuti, SP/ 19811227 200912 2 003/ Fungsional PBT Balai Besar
Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Ditjen Tanaman Pangan)
Sumber
- Susiyanti, 2003. Pro dan kontra tanaman transgenic. Makalah Penantar Falsafah sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
- Haldeman, C, 2008. ISTA and biotech/GM crops. Seed Testing International. Zürichstrasse. Switzerland. (136): 3-5
- Ipoel/Sumber: YLKI. Hidup dengan tanaman transgenik. 2008
- Balai Besar PPMB-TPH Cimanggis Mei, Tahun 2012