Pemerintah RI telah mencanangkan program Swasembada Kedelai Tahun 2014. Berbagai upaya sedang ditempuh atau dilanjutkan pengembangannya. Termasuk perbaikan teknologi budidaya, perluasan areal tanam dan pelepasan varietas unggul.
Pelaksanaan program swasembada kedelai ini, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Menteri Pertanian Suswono, memerlukan kenaikan produksi nasional kedelai sebesar 20% per tahun. Jelas program ini sedang dan akan menghadapi banyak tantangan yang harus diatasi.
Salah satu di antara tantangan tersebut adalah apa yang dikemukakan dalam seminar bulanan Puslitbangtan belum lama ini, yakni membentuk varietas kedelai tahan hama, khususnya tahan ulat grayak (Spodoptera litura). Dr. Suharsono dari Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) yang menyampaikan makalah (yang ditulis bersama rekan) pada seminar di Bogor tersebut menyatakan ulat grayak merupakan kelompok hama pemakan daun penting pada tanaman kedelai di dunia termasuk Indonesia.
Kerusakan atau kehancuran daun yang disebabkan bisa mencapai 100% dan serangan pada fase pertumbuhan vegetatif bisa menurunkan hasil sampai 80%. Ulat grayak lebih memusingkan lagi karena mudah berkembang menjadi tahan terhadap berbagai jenis insektisida kimia.
Kenyataan yang dihadapi sekarang ialah bahwa varietas kedelai tahan ulat grayak yang pernah dilepas di Indonesia baru satu, yakni varietas Ijen (hasil persilangan Wilis dengan Himeshirazu) yang dilepas tahun 2003. Diutarakan, di Indonesia program pemuliaan tahan hama masih belum banyak dilakukan pada tanaman kedelai karena prioritas programnya masih pada potensi hasil tinggi.
Penelitian ketahanan tanaman kedelai mancanegara terhadap hama semakin berkembang setelah pada tahun 1970-an ditemukan di Amerika Serikat beberapa aksesi kedelai tahan terhadap kumbang Meksiko Epilachna varivestis. Penelitian selanjutnya menunjukkan galur-galur tersebut juga tahan terhadap jenis hama pemakan daun lainnya termasuk Spodoptera exiguna dan Spodoptera litura.
Di Indonesia, peluang mengembangkan varietas tahan hama mulai terbuka dan dimanfaatkan oleh Balitkabi sejak didatangkannya pada tahun 1989 dari Brazil dua galur introduksi, yakni IAC-80-596-2 dan IAC-100 yang memiliki sifat ketahanan tertentu terhadap ulat grayak. Dari berbagai uji ketahanan di lapangan selama ini, ketahanan kedua galur tersebut bersama hasil keturunannya terhadap serangan ulat grayak dinilai konsisten.