JogjaBenih
  • Beranda
  • Profil JB
    • Tentang Jogja Benih
    • Visi dan Misi
    • Struktur Organisasi
  • Informasi Publik
    • Artikel
    • Berita
    • Harga/Stok Benih/Bibit
    • Pedoman/Panduan
    • Pengumuman
    • Profil Benih/Bibit
    • Profil Instansi
    • Serba serbi Perbenihan
    • Varietas yang dilepas
  • Kontak
  • Login

ARTIKEL LAINNYA
PENGOLAHAN LIMBAH BUAH DAN SAYUR MENJADI PUPUK ORGANIK: SOLUSI RAMAH LINGKUNGAN UNTUK PERTANIAN MENGENAL LEBIH DEKAT BUDIDAYA TANAMAN ROSELLA : MANFAAT, CARA MENANAM, DAN TIPS BUDIDAYA PISANG STRATEGI KENDALIKAN HAMA PADI BUDIDAYA TOMAT PENGELOLAAN AIR DALAM BUDIDAYA JAGUNG BUDIDAYA JAMUR SHIITAKE
Selengkapnya

Loading

POTENSI PENGEMBANGAN KAKAO DI BANTUL BAGIAN TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN BENIH BERMUTU

Dipublikasikan oleh: 730permana, Pada 08 June 2016, Dalam kategori: Artikel

POTENSI PENGEMBANGAN KAKAO DI BANTUL BAGIAN TIMUR

DENGAN MENGGUNAKAN BENIH BERMUTU

Oleh : Wahyu Abidin Shaf, SP

Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY

 

A. Kondisi Umum Kabupaten Bantul

Wilayah  Kabupaten  Bantul  terletak  antara 110012’34”  sampai 1100 31’ 08’’ Bujur Timur dan antara 7044’ 04’’sampai 8000’27’’  Lintang Selatan. Kabupaten  Bantul  merupakan  salah  satu Kabupaten  dari  5  Kabupaten/Kota  di  Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terletak di  Pulau  Jawa.  Bagian  utara  berbatasan  dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, bagian timur  berbatasan  dengan  Kabupaten Gunungkidul,  bagian  barat  berbatasan  dengan Kabupaten Kulonprogo  dan  bagian  selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kabupaten  Bantul  terdiri  dari  17 kecamatan, yaitu Kecamatan Srandakan, Sanden, Kretek,  Pundong,  Bambanglipuro,  Pandak, Bantul,  Jetis,  Imogiri,  Dlingo,  Pleret,  Piyungan, Banguntapan,  Sewon,  Kasihan,  Pajangan  dan Sedayu. Luas  wilayah  Kabupaten  Bantul 50.685  Ha. 1

Secara  topografis,  Kabupaten  Bantul  terbagi  menjadi  daerah  dataran,  daerah perbukitan  serta  daerah  pantai. Secara  garis  besar,  satuan  fisiografi  Kabupaten Bantul  sebagian  besar  berada  pada  dataran  aluvial  (Fluvio  Volcanic  Plain), perbukitan di sisi barat dan timur  serta  fisiografi pantai.  Adapun pembagian satuan fisiografi yang lebih rinci di Kabupaten Bantul adalah sebagai berikut 2:

  1. 1.di  bagian  Timur  merupakan  jalur  perbukitan  berlereng  terjal dengan  kemiringan  lereng  dominan  curam  (>70%)  dan  ketinggian mencapai  400  meter  dari  permukaan  air  laut,  Daerah  ini  terbentuk  oleh formasi Nglanggran dan Wonosari,
  2. 2.di  bagian  Selatan  ditempati  oleh  gisik  dan  gumuk-gumuk pasir (fluviomarine)  dengan  kemiringan  lereng  datar-landai,  Daerah  ini terbentuk oleh material lepas dengan ukuran pasir kerakal,
  3. 3.di  bagian  tengah  merupakan  dataran  aluvial  (Fluvio  Volcanic Plain),  yang dipengaruhi oleh Graben Bantul dan terendapi oleh material vulkanik dari endapan vulkanik Merapi,
  4. 4.Daerah di bagian Barat merupakan perbukitan rendah dengan kemiringan lereng landai-curam dan ketinggian mencapaimeter dari permukaan air laut, Daerah ini terbentuk oleh formasi Sentolo.

 

Penggunaan lahan untuk pertanian di Kabupaten Bantul cukup besar. Pada tahun  2014  luas  lahan  sawah  Kabupaten  Bantul  15.191  Ha,  lahan  bukan sawah  tercatat  13.639  Ha  dan  lahan  bukan pertanian tercatat seluas 21.855 Ha. Lahan bukan sawah  meliputi  tegal/kebun,  lahan  ditanami pohon  /  hutan  rakyat,  tambak,  kolam  /  tebat  / empang,  dan  lainnya.  Sedangkan  lahan  bukan pertanian  meliputi  tanah  untuk  bangunan  dan pekarangan,  hutan  negara,  lahan  tidak ditanami/rawa, dan tanah lainnya. 1

Komoditas tanaman pertanian yang paling luas areanya adalah tanaman pangan khususnya padi sawah. Luas panen pada tahun 2014 mencapai 30.160 Ha. Untuk tanaman perkebunan komoditas paling banyak ditanam masyarakat adalah Kelapa (7.026,01 Ha), Tebu (1.425,93 Ha), Tembakau (219,00 Ha) dan Jambu Mete (218,30 Ha). 1

 

B. Potensi Pengembangan Tanaman Kakao

 

Komoditas tanaman perkebunan di Kabupaten Bantul yang terbesar yaitu kelapa, tebu dan tembakau. Ketiga jenis komoditas ini memang paling banyak diminati oleh petani perkebunan di Kabupaten Bantul bahkan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pengembangan jenis komoditas lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi perlu ditingkatkan. Pengembangan ini tentunya memperhatikan berbagai aspek wilayah pengembangan baik teknis maupun sosial masyarakat.

Komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan memiliki harga yang relatif stabil adalah kakao (Theobroma cacao L). Kakao merupakan salah satu jenis tanaman penyegar yang memiliki nilai ekonomi tinggi.  Areal kakao tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia  dengan  sentra-sentra  produksi  berada  di  wilayah  Sulawesi, khususnya  Sulawesi  Selatan,  Sulawesi  Tenggara,  Sulawesi  Barat,  dan Sulawesi  Tengah.  Pengusahaan  kakao  tersebut  akan  menggerakkan perekonomian  berbasis  masyarakat  pedesaan  dengan  beberapa keunggulan  komparatif  dibandingkan  komoditas  perkebunan  lainnya sehingga  dinilai  akan  sangat  strategis  untuk  meningkatkan kesejahteraan petani, khususnya di kawasan yang tertinggal. 3

Kakao  merupakan  satu-satunya dari 22  jenis  marga Theobroma,  suku  Sterculiaceae, yang  diusahakan  secara komersial.  Menurut  Tjitrosoepomo  (1988)  sistematika tanaman ini sebagai berikut 4:

Divisi               : Spermatophyta

Anak divisi      : Angioospermae

Kelas               : Dicotyledoneae

Anak kelas      : Dialypetalae

Bangsa                        : Malvales

Suku                : Sterculiaceae

Marga              : Theobroma

Jenis                : Theobroma cacao L

Beberapa  sifat  (penciri)  dari  buah  dan  biji  digunakan dasar  klasifikasi  dalam  sistem  taksonomi.  Berdasarkan bentuk  buahnya,  kakao  dapat  dikelompokkan  ke  dalam empat populasi. Kakao lindak (bulk) yang telah tersebar luas di daerah tropika adalah anggota sub jenis sphaerocarpum.4

Bentuk  bijinya  lonjong,  pipih  dan  keping  bijinya  berwarna ungu gelap. Mutunya beragam tetapi lebih rendah daripada sub jenis cacao.  Permukaan  kulit  buahnya  relatif  halus karena alur-alurnya  dangkal.  Kulit  buah  tipis  tetapi  keras (liat). Menurut  Wood (1975),  kakao  dibagi  tiga  kelompok besar,  yaitu  criollo,  forastero,  dan trinitario;  sebagian  sifat criollo  telah  disebutkan  di  atas.  Sifat  lainnya  adalah pertumbuhannya  kurang  kuat,  daya  hasil  lebih  rendah daripada  forastero,  relatif  gampang  terserang  hama  dan penyakit  permukaan  kulit  buah  criollo  kasar,  berbenjolbenjol  dan  alur-alurnya  jelas.  Kulit  ini  tebal  tetapi  lunak sehingga  mudah  dipecah.  Kadar  lemak  biji  lebih  rendah daripada forastero  tetapi  ukuran  bijinya  besar,  bulat,  dan memberikan citarasa khas yang baik.4

Kakao  pertama  kali  didatangkan  ke  Indonesia  Tahun  1560  oleh orang orang  Sepanyol  yang  mendatangkan  kakao  jenis  Criollo  Venezuella  di Sulawesi  namun  pengembangan  kakao  secara  intensif  baru  dilakukan pada  awal  abad  19  yang  ditandai  dengan  kegiatan  seleksi  klon  kakao mulia  di  kebun  Djati  Roenggo  Tahun  1912.  Selanjutnya  dilakukan pengembangan  kakao  jenis  lindak  sejak  awal  Tahun  1980-an  yang kemudian menjadikan Indonesia  sebagai produsen kakao terbesar  ketiga di dunia.3

Ditinjau  dari  wilayah penanamannya, kakao  ditanam  pada  daerah-daerah  yang berada  pada  10oLU-10oLS. Namun demikian, penyebaran kakao umumnya berada di antara 7o LU-18oLS. Hal ini erat kaitannya  dengan  distribusi  curah  hujan  dan  jumlah penyinaran  matahari  sepanjang  tahun. Ketinggian  tempat  di  Indonesia  yang ideal  untuk  penanaman  kakao  adalah < 800  m  dari permukaan laut. Distribusi  curah  hujan sepanjang  tahun curah  hujan 1.100-3.000  mm  per  tahun.  Menurut  hasil  penelitian,  suhu  ideal bagi tanaman kakao adalah 30o–32oC (maksimum) dan 18o-21oC  (minimum).

Tanaman  kakao  dapat  tumbuh  dengan  baik  pada tanah yang memiliki pH 6-7,5; tidak lebih tinggi dari 8 serta tidak  lebih  rendah  dari  4;  paling  tidak  pada  kedalaman  1 meter.  Tekstur tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30-40 % fraksi liat, 50% pasir, dan 10-20 persen debu. Susunan demikian akan mem-pengaruhi  ketersediaan  air  dan  hara  serta  aerasi tanah.  Struktur  tanah  yang  remah  dengan  agregat  yang mantap menciptakan gerakan air dan udara di dalam tanah sehingga  menguntungkan  bagi  akar.  Tanah  tipe  latosol dengan  fraksi  liat  yang  tinggi  ternyata  sangat  kurang menguntungkan tanaman  kakao,  sedangkan  tanah  regosol dengan  tekstur  lempung  berliat  walaupun  mengandung kerikil masih baik bagi tanaman kakao.4

Melihat kondisi Kabupaten Bantul, salah satu wilayah yang memiliki potensi adalah Bantul bagian timur. Bantul bagian timur diantaranya Kecamatan Piyungan, Dlingo dan Imogiri. Pada Penyusunan Dokumen Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan Perkebunan Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015-2019 5, pengembangan Klaster kakao di Kabupaten Bantul berada di Kecamatan Dlingo dan Piyungan. Pada wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul dan masih satu kawasan dengan klaster kakao kecamatan Patuk.

 Kecamatan yang paling dekat dan langsung berbatasan dengan Kecamatan Patuk adalah Kecamatan Dlingo. Kecamatan Dlingo merupakan kecamatan dengan luas wilayah 5.587 Ha dengan prosentase 11,02 % terluas di Kabupaten Bantul. (Bantul dalam angka) ketinggian tempat sebagian besar berada pada 100-499 mdpl. Berdasarkan stasiun pemantauan Dlingo curah hujan pada tahun 2004 sebesar 2.064 mm/tahun dengan hari hujan 126 hari dengan 3 bulan kering. Suhu rata-rata di kabupaten Bantul adalah 26,8o C. Jenis tanah pada lokasi ini adalah latosol dengan pH 6-7.

Jika dibandingkan antara syarat tumbuh tanaman kakao dengan kondisi wilayah Kecamatan Dlingo dapat dikatakan sesuai. Beberapa parameter seperti ketinggian tempat, curah hujan  pH tanah di kecamatan Dlingo cocok untuk tanaman kakao. Tidak terdapat faktor pembatas yang berarti sehngga dapat diklasifikasikan S1 / sangat sesuai. Kelas S1 (sangat sesuai) 6: Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.

Salah satu kekurangannya adalah tanah latosol yang memiliki fraksi  liat/lempung  yang  tinggi. Namun hal ini dapat diatasi dengan penambahan bahan organic. Hasil penelitian menunjukkan, penambahan bahan humat 1 persen pada latosol mampu meningkatkan 35,75 % pori air tersedia dari 6,07 % menjadi 8,24 % volume (Herudjito, 1999).7

C. Gunakan Benih Bermutu

Kegiatan penanaman harus diawali dengan pengadaan benih yang bermutu. Benih bermutu tanaman perkebunan merupakan benih yang varietas/klon telah dilepas oleh Menteri Pertanian serta memenuhi standar mutu genetik, fisik dan fisiologi.

Benih kakao terdapat dua jenis perbanyakan yaitu perbanyakan secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan generatif menggunakan biji. Perbanyakan vegetatif dapat dilakukan setek, okulasi, sambung pucuk, dan kultur jaringan.

Perbanyakan generatif pada kakao mengunakan benih hibrida hasil persilangan klon-klon unggul yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian. Biji hasil persilangan ini kemudian dikembangan di persemaian kemudian dapat langsung ditanam di lahan jika sudah memenuhi standar benih siap tanam.

Kakao merupakan klon yang perbanyakannya sebaiknya menggunakan cara vegetatif. Perbanyakan vegetatif dapat menurunkan sifat induknya secara penuh kepada keturunannya. Tanaman hasil perbanyakan vegetatif ini dapat berproduksi sesuai dengan potensinya jika ditanam sesuai dengan baku teknis.

Akan tetapi pembukaan pertanaman awal seperti di Kabupaten Bantul ini lebih baik menggunakan cara generatif dengan pertimbangan teknik perbanyakan generatif ini lebih mudah dan murah. Petani cukup melaksanakan pengadaan benih kakao dalam bentuk biji kemudian disemai dalam polibeg sampai dengan siap tanam secara mandiri. Tanaman yang didapatkan dengan perbanyakan generatif juga memiliki kelebihan perakaran kuat dan dapat berproduksi lebih lama.

Namun  kelemahan  dari  teknik  perbanyakan  ini  menghasilkan pertanaman  yang  secara  genetik  beragam  sebab  persilangan  dalam pembuatan  benih  hibrida  menggunakan  klon-klon  tetua  yang bukan  galur  murni  (non  homozygous).  Meskipun  demikian,  tanaman-tanaman kakao  hasil  pengembangan  dengan  biji  yang  kurang  produktif selanjutnya dapat direhabilitasi dengan menggunakan klon-klon unggul melalui penyambungan di lapangan (sambung samping). 3

Benih bermutu didapatkan dari sumber benih yang memiliki legalitas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, terdapat jaminan mutu dari lembaga sertifikasi benih yang ditandai dengan adanya sertifikat dan label.

Secara  genetis  benih  (biji)  kakao  yang  baik  memiliki  tingkat kemurnian  100%  dengan  kriteria  mutu  fisiologis  memiliki  daya kecambah  minimal  80%  dan  bebas  dari  serangan  OPT.  Secara  fisik benih  yang  baik  dapat  dilihat  dari  bentuk  biji  bernas  (padat  berisi) berukuran normal terutama diambil dari bagian tengah buah kakao (2/3 bagian tengah), memiliki kadar air 30  –  40 %, serta kemurnian fisik 98%. 3

D. Peluang Pengembangan Produk Olahan

Potensi pengembangan kakao tidak hanya berhenti pada keberhasilan on farm saja. Terbuka peluang pengembangan bisnis olahan hingga menjadi coklat siap konsumsi.

Kisah sukses pengembangan agribisnis kakao dari on farm hingga off farm ada pada Kampung Coklat di Blitar Jawa Timur. Petani di Bantul dapat mengadopsi dan mengadaptasi konsep yang dibangun Kampung Coklat disesuaikan dengan kondisi wilayah.

Selain dapat mengadaptasi konsep pengelolaan dari hulu sampai hilir, petani juga dapat meniru kisah sukses petani Gunung Kidul yang bekerjasama menjadi pemasok kakao langsung pada perusahaan pengolahan kakao di Yogyakarta tanpa melalui pengepul. Salah satunya Edy Suparjono menjadi penyedia bahan baku kakao fermentasi untuk Coklat nDalem. Kerjasama ini tentu saja terjadi karena petani dapat menjaga konsistensi produksi biji kakao dengan kualitas prima.

Jika petani dapat memproduksi produk olahan seperti coklat bubuk, potensi pasar juga cukup besar. Banyak kafe di Yogyakarta yang menyediakan menu coklat baik dalam bentuk minuman, makanan hingga es krim. Penjual minuman coklat siap saji yang menggunakan booth kecil juga mulai berkembang. Hal ini juga menambah peluang pasar hasil produk petani kakao di kabupaten Bantul bagian timur maupun wilayah DIY secara umum.

 

Daftar Pustaka

1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2015. Bantul Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. Bantul.

2 Kabupaten Bantul. 2011. Rencana Pembangunan  Jangka  Menengah  Daerah  Kabupaten  Bantul. Pemerintah Kabupaten Bantul. Bantul.

3 Indonesia. 2015. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 314/Kpts/KB.020/10/2015 tentang Pedoman Produksi, Sertifikasi, Peredaran dan Pengawasan Benih Tanaman Kakao (Theobroma cacao L). Kementerian Pertanian. Jakarta.

4 Karmawati, E., dkk. 2010. Budidaya dan Pascapanen Kakao.  Puslitbang Perkebunan. Bogor.

5 Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY. 2014. Penyusunan Dokumen Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan Perkebunan Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015-2019. Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY. Yogyakarta

6Ritung, R., dkk. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre. Bogor.

7 Atmojo, S.W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Diucapkan di Muka Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Tanggal 4 Januari 2003. Sebelas Maret University Press Surakarta. Surakarta.

Copyright © DPKP DIY 2025 | Website Resmi Jogja Benih v2.0  

Page Processed 0.057 secs