POTENSI PENGEMBANGAN KAKAO DI BANTUL BAGIAN TIMUR
DENGAN MENGGUNAKAN BENIH BERMUTU
Oleh : Wahyu Abidin Shaf, SP
Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY
A. Kondisi Umum Kabupaten Bantul
Wilayah Kabupaten Bantul terletak antara 110012’34” sampai 1100 31’ 08’’ Bujur Timur dan antara 7044’ 04’’sampai 8000’27’’ Lintang Selatan. Kabupaten Bantul merupakan salah satu Kabupaten dari 5 Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terletak di Pulau Jawa. Bagian utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo dan bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan, yaitu Kecamatan Srandakan, Sanden, Kretek, Pundong, Bambanglipuro, Pandak, Bantul, Jetis, Imogiri, Dlingo, Pleret, Piyungan, Banguntapan, Sewon, Kasihan, Pajangan dan Sedayu. Luas wilayah Kabupaten Bantul 50.685 Ha. 1
Secara topografis, Kabupaten Bantul terbagi menjadi daerah dataran, daerah perbukitan serta daerah pantai. Secara garis besar, satuan fisiografi Kabupaten Bantul sebagian besar berada pada dataran aluvial (Fluvio Volcanic Plain), perbukitan di sisi barat dan timur serta fisiografi pantai. Adapun pembagian satuan fisiografi yang lebih rinci di Kabupaten Bantul adalah sebagai berikut 2:
- 1.di bagian Timur merupakan jalur perbukitan berlereng terjal dengan kemiringan lereng dominan curam (>70%) dan ketinggian mencapai 400 meter dari permukaan air laut, Daerah ini terbentuk oleh formasi Nglanggran dan Wonosari,
- 2.di bagian Selatan ditempati oleh gisik dan gumuk-gumuk pasir (fluviomarine) dengan kemiringan lereng datar-landai, Daerah ini terbentuk oleh material lepas dengan ukuran pasir kerakal,
- 3.di bagian tengah merupakan dataran aluvial (Fluvio Volcanic Plain), yang dipengaruhi oleh Graben Bantul dan terendapi oleh material vulkanik dari endapan vulkanik Merapi,
- 4.Daerah di bagian Barat merupakan perbukitan rendah dengan kemiringan lereng landai-curam dan ketinggian mencapaimeter dari permukaan air laut, Daerah ini terbentuk oleh formasi Sentolo.
Penggunaan lahan untuk pertanian di Kabupaten Bantul cukup besar. Pada tahun 2014 luas lahan sawah Kabupaten Bantul 15.191 Ha, lahan bukan sawah tercatat 13.639 Ha dan lahan bukan pertanian tercatat seluas 21.855 Ha. Lahan bukan sawah meliputi tegal/kebun, lahan ditanami pohon / hutan rakyat, tambak, kolam / tebat / empang, dan lainnya. Sedangkan lahan bukan pertanian meliputi tanah untuk bangunan dan pekarangan, hutan negara, lahan tidak ditanami/rawa, dan tanah lainnya. 1
Komoditas tanaman pertanian yang paling luas areanya adalah tanaman pangan khususnya padi sawah. Luas panen pada tahun 2014 mencapai 30.160 Ha. Untuk tanaman perkebunan komoditas paling banyak ditanam masyarakat adalah Kelapa (7.026,01 Ha), Tebu (1.425,93 Ha), Tembakau (219,00 Ha) dan Jambu Mete (218,30 Ha). 1
B. Potensi Pengembangan Tanaman Kakao
Komoditas tanaman perkebunan di Kabupaten Bantul yang terbesar yaitu kelapa, tebu dan tembakau. Ketiga jenis komoditas ini memang paling banyak diminati oleh petani perkebunan di Kabupaten Bantul bahkan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengembangan jenis komoditas lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi perlu ditingkatkan. Pengembangan ini tentunya memperhatikan berbagai aspek wilayah pengembangan baik teknis maupun sosial masyarakat.
Komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan memiliki harga yang relatif stabil adalah kakao (Theobroma cacao L). Kakao merupakan salah satu jenis tanaman penyegar yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Areal kakao tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan sentra-sentra produksi berada di wilayah Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. Pengusahaan kakao tersebut akan menggerakkan perekonomian berbasis masyarakat pedesaan dengan beberapa keunggulan komparatif dibandingkan komoditas perkebunan lainnya sehingga dinilai akan sangat strategis untuk meningkatkan kesejahteraan petani, khususnya di kawasan yang tertinggal. 3
Kakao merupakan satu-satunya dari 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae, yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988) sistematika tanaman ini sebagai berikut 4:
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angioospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak kelas : Dialypetalae
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Marga : Theobroma
Jenis : Theobroma cacao L
Beberapa sifat (penciri) dari buah dan biji digunakan dasar klasifikasi dalam sistem taksonomi. Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan ke dalam empat populasi. Kakao lindak (bulk) yang telah tersebar luas di daerah tropika adalah anggota sub jenis sphaerocarpum.4
Bentuk bijinya lonjong, pipih dan keping bijinya berwarna ungu gelap. Mutunya beragam tetapi lebih rendah daripada sub jenis cacao. Permukaan kulit buahnya relatif halus karena alur-alurnya dangkal. Kulit buah tipis tetapi keras (liat). Menurut Wood (1975), kakao dibagi tiga kelompok besar, yaitu criollo, forastero, dan trinitario; sebagian sifat criollo telah disebutkan di atas. Sifat lainnya adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih rendah daripada forastero, relatif gampang terserang hama dan penyakit permukaan kulit buah criollo kasar, berbenjolbenjol dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal tetapi lunak sehingga mudah dipecah. Kadar lemak biji lebih rendah daripada forastero tetapi ukuran bijinya besar, bulat, dan memberikan citarasa khas yang baik.4
Kakao pertama kali didatangkan ke Indonesia Tahun 1560 oleh orang orang Sepanyol yang mendatangkan kakao jenis Criollo Venezuella di Sulawesi namun pengembangan kakao secara intensif baru dilakukan pada awal abad 19 yang ditandai dengan kegiatan seleksi klon kakao mulia di kebun Djati Roenggo Tahun 1912. Selanjutnya dilakukan pengembangan kakao jenis lindak sejak awal Tahun 1980-an yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia.3
Ditinjau dari wilayah penanamannya, kakao ditanam pada daerah-daerah yang berada pada 10oLU-10oLS. Namun demikian, penyebaran kakao umumnya berada di antara 7o LU-18oLS. Hal ini erat kaitannya dengan distribusi curah hujan dan jumlah penyinaran matahari sepanjang tahun. Ketinggian tempat di Indonesia yang ideal untuk penanaman kakao adalah < 800 m dari permukaan laut. Distribusi curah hujan sepanjang tahun curah hujan 1.100-3.000 mm per tahun. Menurut hasil penelitian, suhu ideal bagi tanaman kakao adalah 30o–32oC (maksimum) dan 18o-21oC (minimum).
Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH 6-7,5; tidak lebih tinggi dari 8 serta tidak lebih rendah dari 4; paling tidak pada kedalaman 1 meter. Tekstur tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30-40 % fraksi liat, 50% pasir, dan 10-20 persen debu. Susunan demikian akan mem-pengaruhi ketersediaan air dan hara serta aerasi tanah. Struktur tanah yang remah dengan agregat yang mantap menciptakan gerakan air dan udara di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi akar. Tanah tipe latosol dengan fraksi liat yang tinggi ternyata sangat kurang menguntungkan tanaman kakao, sedangkan tanah regosol dengan tekstur lempung berliat walaupun mengandung kerikil masih baik bagi tanaman kakao.4
Melihat kondisi Kabupaten Bantul, salah satu wilayah yang memiliki potensi adalah Bantul bagian timur. Bantul bagian timur diantaranya Kecamatan Piyungan, Dlingo dan Imogiri. Pada Penyusunan Dokumen Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan Perkebunan Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015-2019 5, pengembangan Klaster kakao di Kabupaten Bantul berada di Kecamatan Dlingo dan Piyungan. Pada wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul dan masih satu kawasan dengan klaster kakao kecamatan Patuk.
Kecamatan yang paling dekat dan langsung berbatasan dengan Kecamatan Patuk adalah Kecamatan Dlingo. Kecamatan Dlingo merupakan kecamatan dengan luas wilayah 5.587 Ha dengan prosentase 11,02 % terluas di Kabupaten Bantul. (Bantul dalam angka) ketinggian tempat sebagian besar berada pada 100-499 mdpl. Berdasarkan stasiun pemantauan Dlingo curah hujan pada tahun 2004 sebesar 2.064 mm/tahun dengan hari hujan 126 hari dengan 3 bulan kering. Suhu rata-rata di kabupaten Bantul adalah 26,8o C. Jenis tanah pada lokasi ini adalah latosol dengan pH 6-7.
Jika dibandingkan antara syarat tumbuh tanaman kakao dengan kondisi wilayah Kecamatan Dlingo dapat dikatakan sesuai. Beberapa parameter seperti ketinggian tempat, curah hujan pH tanah di kecamatan Dlingo cocok untuk tanaman kakao. Tidak terdapat faktor pembatas yang berarti sehngga dapat diklasifikasikan S1 / sangat sesuai. Kelas S1 (sangat sesuai) 6: Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
Salah satu kekurangannya adalah tanah latosol yang memiliki fraksi liat/lempung yang tinggi. Namun hal ini dapat diatasi dengan penambahan bahan organic. Hasil penelitian menunjukkan, penambahan bahan humat 1 persen pada latosol mampu meningkatkan 35,75 % pori air tersedia dari 6,07 % menjadi 8,24 % volume (Herudjito, 1999).7
C. Gunakan Benih Bermutu
Kegiatan penanaman harus diawali dengan pengadaan benih yang bermutu. Benih bermutu tanaman perkebunan merupakan benih yang varietas/klon telah dilepas oleh Menteri Pertanian serta memenuhi standar mutu genetik, fisik dan fisiologi.
Benih kakao terdapat dua jenis perbanyakan yaitu perbanyakan secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan generatif menggunakan biji. Perbanyakan vegetatif dapat dilakukan setek, okulasi, sambung pucuk, dan kultur jaringan.
Perbanyakan generatif pada kakao mengunakan benih hibrida hasil persilangan klon-klon unggul yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian. Biji hasil persilangan ini kemudian dikembangan di persemaian kemudian dapat langsung ditanam di lahan jika sudah memenuhi standar benih siap tanam.
Kakao merupakan klon yang perbanyakannya sebaiknya menggunakan cara vegetatif. Perbanyakan vegetatif dapat menurunkan sifat induknya secara penuh kepada keturunannya. Tanaman hasil perbanyakan vegetatif ini dapat berproduksi sesuai dengan potensinya jika ditanam sesuai dengan baku teknis.
Akan tetapi pembukaan pertanaman awal seperti di Kabupaten Bantul ini lebih baik menggunakan cara generatif dengan pertimbangan teknik perbanyakan generatif ini lebih mudah dan murah. Petani cukup melaksanakan pengadaan benih kakao dalam bentuk biji kemudian disemai dalam polibeg sampai dengan siap tanam secara mandiri. Tanaman yang didapatkan dengan perbanyakan generatif juga memiliki kelebihan perakaran kuat dan dapat berproduksi lebih lama.
Namun kelemahan dari teknik perbanyakan ini menghasilkan pertanaman yang secara genetik beragam sebab persilangan dalam pembuatan benih hibrida menggunakan klon-klon tetua yang bukan galur murni (non homozygous). Meskipun demikian, tanaman-tanaman kakao hasil pengembangan dengan biji yang kurang produktif selanjutnya dapat direhabilitasi dengan menggunakan klon-klon unggul melalui penyambungan di lapangan (sambung samping). 3
Benih bermutu didapatkan dari sumber benih yang memiliki legalitas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, terdapat jaminan mutu dari lembaga sertifikasi benih yang ditandai dengan adanya sertifikat dan label.
Secara genetis benih (biji) kakao yang baik memiliki tingkat kemurnian 100% dengan kriteria mutu fisiologis memiliki daya kecambah minimal 80% dan bebas dari serangan OPT. Secara fisik benih yang baik dapat dilihat dari bentuk biji bernas (padat berisi) berukuran normal terutama diambil dari bagian tengah buah kakao (2/3 bagian tengah), memiliki kadar air 30 – 40 %, serta kemurnian fisik 98%. 3
D. Peluang Pengembangan Produk Olahan
Potensi pengembangan kakao tidak hanya berhenti pada keberhasilan on farm saja. Terbuka peluang pengembangan bisnis olahan hingga menjadi coklat siap konsumsi.
Kisah sukses pengembangan agribisnis kakao dari on farm hingga off farm ada pada Kampung Coklat di Blitar Jawa Timur. Petani di Bantul dapat mengadopsi dan mengadaptasi konsep yang dibangun Kampung Coklat disesuaikan dengan kondisi wilayah.
Selain dapat mengadaptasi konsep pengelolaan dari hulu sampai hilir, petani juga dapat meniru kisah sukses petani Gunung Kidul yang bekerjasama menjadi pemasok kakao langsung pada perusahaan pengolahan kakao di Yogyakarta tanpa melalui pengepul. Salah satunya Edy Suparjono menjadi penyedia bahan baku kakao fermentasi untuk Coklat nDalem. Kerjasama ini tentu saja terjadi karena petani dapat menjaga konsistensi produksi biji kakao dengan kualitas prima.
Jika petani dapat memproduksi produk olahan seperti coklat bubuk, potensi pasar juga cukup besar. Banyak kafe di Yogyakarta yang menyediakan menu coklat baik dalam bentuk minuman, makanan hingga es krim. Penjual minuman coklat siap saji yang menggunakan booth kecil juga mulai berkembang. Hal ini juga menambah peluang pasar hasil produk petani kakao di kabupaten Bantul bagian timur maupun wilayah DIY secara umum.
Daftar Pustaka
1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2015. Bantul Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. Bantul.
2 Kabupaten Bantul. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bantul. Pemerintah Kabupaten Bantul. Bantul.
3 Indonesia. 2015. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 314/Kpts/KB.020/10/2015 tentang Pedoman Produksi, Sertifikasi, Peredaran dan Pengawasan Benih Tanaman Kakao (Theobroma cacao L). Kementerian Pertanian. Jakarta.
4 Karmawati, E., dkk. 2010. Budidaya dan Pascapanen Kakao. Puslitbang Perkebunan. Bogor.
5 Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY. 2014. Penyusunan Dokumen Roadmap dan Penetapan Klaster Sentra Produksi Komoditas Unggulan Perkebunan Jangka Pendek dan Jangka Menengah DIY Tahun 2015-2019. Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY. Yogyakarta
6Ritung, R., dkk. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre. Bogor.
7 Atmojo, S.W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Diucapkan di Muka Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Tanggal 4 Januari 2003. Sebelas Maret University Press Surakarta. Surakarta.