Dari penyapihan yang umumnya selama 4–6 bulan, dengan metode ini bisa lepas sapih hanya dalam waktu 35 hari
Periode yang paling penuh risiko dalam sebuah peternakan adalah masa penyapihan. Diungkapkan berbagai sumber, periode awal ini rentan terhadap serangan penyakit hingga menyebabkan kematian tinggi. Tak terkecuali untuk peternakan sapi di daerah tropis seperti Indonesia, tingkat kematian anak sapi (pedet) yang berumur di bawah 3 bulan bisa mencapai 50%.
Menilik hal ini, peternak pun cenderung memelihara sapi bakalan yang telah selesai masa penyapihan.Dosen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Kukuh Budi Satoto menerangkan lebih jauh. “Bahkan peternak yang memiliki sapi betina sebagai indukan, cenderung menjual pedet-pedetnya. Kemudian mereka membeli bakalan sapi lain sebagai pengganti induk yang sudah tidak produktif,” tuturnya.
Padahal menurut Kukuh, sebenarnya memelihara pedet bisa dilakukan sejak masa penyapihan tanpa takut risiko kematian. Melalui penelitian yang dilakukan bersama mahasiswanya, Kukuh menuturkan, penerapan ransum starter sudah dinilai cukup untuk masa penyapihan ternak sapi.
Secara teknis, ransum starter ini diartikan dengan pemberian makanan pada periode awal ternak. “Dan konsumsi bahan kering yang terkandung dalam ransum starter ini sebagai kunci untuk menentukan selesainya masa penyapihan. Untuk sapi, penyapihan bisa dilakukan bila konsumsi ransum starter sudah mencapai kisaran 500–750gram per ekor per hari,” jelasnya.
Kukuh menuturkan, jika saja menerapkan manajemen ransum starter secara tepat, peternak bahkan bisa menyapih dini (lebih cepat) ternak sapinya. “Dari penyapihan yang umumnya selama 4–6bulan, dengan metode ini bisa lepas sapih hanya dalam waktu 35 hari,” ujarnya.
Korelasi Positif
Bagaimana bisa sedrastis itu Kukuh menitikberatkan pada penghematan konsumsi susu dalam masa penyapihan. Di peternakan, penyapihan pedet sejak lepas colostrum(susu induk)biasanya berlangsung selama 4–6bulan. “Penyapihan dilakukan dengan memanfaatkan susu induk untuk kebutuhan si pedet. Dan secara perlahan akan dikurangi jumlahnya. Di sini, pedet pun dikenalkan dengan bahan kering untuk perkembangan rumennya, seperti biji-bijian dan rumput,” imbuhnya.
Namun, kadangkala peternak lebih memerhatikan konsumsi susu dibandingkan konsumsi bahan keringnya. Akibatnya, peternak tidak mempedulikan formula bahan kering tersebut. Berbeda dengan penyapihan biasa, Kukuh berupaya memperhatikan formulasi pakan untuk pedet dengan menerapkan manajemen ransum starter menggunakan sistem cafetaria.
Dalam penelitiannyaKukuh menyediakan berbagai bahan kering untuk dipilih langsung oleh pedet. Bahan kering tersebut terdiri atasbungkil kedelai, jagung, pollard (limbah pengolahan terigu), dan bungkil kelapa yang semuanya digiling kasar. Pedet pun memberikan hasil positif dengan meramu sendiri bahan makanan yang diperlukan. “Gambaran kasarnya, si pedet lebih menyukai bungkil kedelai dan jagung. Hingga minggu terakhir penelitian bisa dilihat dalam konsumsi pakan 1 kg, di dalamnya terkandung kisaran 69% bungkil kedelai dan 30% jagung,” ujarnya.
Akhirnya pedet bisa menentukan sendiri bahan makanannya dan berkorelasi positif dengan waktu penyapihannya. Penyapihan dini ini pun tentunya berkorelasi positif dengan efisiensi biaya penyapihan. Dalam hasil penelitiannya, Kukuh bisa mengefisienkan biaya pakan serta menghemat konsumsi susu.