Kambing peranakan etawah, atau yang biasa disebut kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing etawah dan kambing kacang. Kambing ini telah lama beradaptasi dengan kondisi Indonesia. Kambing ini dikenal sebagai kambing dwiguna. Artinya, selain dapat dijadikan sebagai sumber daging, jenis kambing ini dapat dijadikan kambing perah karena produksi susunya yang lebih tinggi daripada kambing pedaging.
Guna memenuhi kebutuhan daging dan susu diperlukan ketersediaan bibit yang berkualitas dan berkelanjutan sehingga perlu dilakukan pembibitan yang baik sesuai prosedur Good Breeding Practice (GBP). Salah satu Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang bergerak dalam program pembibitan ternak ruminansia adalah Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Ruminansia (BPBTR) Jawa Tengah.
UPTD ini memiliki 5 satuan kerja (satker) yang berada di bawah pengawasan BPBTR yaitu satker Pagerkukuh, Wonosobo yang fokus pada pembibitan sapi perah; Maron,Temanggung yang membudidayakan sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi persilangan; Kaligesing, Purworejo yang fokus pada pembibitan kambing PE; Kopeng, Semarang yang memelihara sapi perah impor; dan Sumberejo, Kendal yang membudidayakan sapi PO, kambing PE, dan domba ekor gemuk.
Khusus untuk satker Sumberejo yang fokus dalam pembibitan kambing PE pada 2013 memiliki populasi kambing PE sebanyak 235 ekor. Dari jumlah itu terdiri atas 97 ekor kambing PE dewasa, 62 ekor kambing PE muda, dan 76 ekor kambing PE anak.
Selama tahun itu tercatat kelahiran anak sebanyak 110 ekor dengan jantan 52 ekor dan betina 58 ekor. Dari pusat pembibitan ini, anak kambing yang telah lepas sapih atau berumur sekitar 6-8 bulan biasanya dijual. “Anak-anak kambing itu kemudian dijadikan bibit oleh peternak,” ungkap Koordinator Satker Sumberejo, Riyanto kepada TROBOS Livestock.
Untuk berat anak kambing jantan sekitar 25 – 26 kg dijual dengan harga Rp 1,5 – 1,7 juta per ekor, sementara anak betina 20 – 22 kg dijual dengan harga Rp 1,3 – 1,5 juta per ekor. “Kami memilih menjual pada saat Idul Adha karena harga yang ditawarkan relatif tinggi. Kalau hari biasa lebih rendah,” aku Riyanto.
Ia menegaskan, tidak semua anak kambing PE dijual ke pasar. Sekitar 20 – 30 % dari jumlah kelahiran diambil untuk dijadikan replacement stock (stok pengganti).
Hasil penjualan berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jawa Tengah. Pada 2013, satker ini telah menyumbang PAD sebesar Rp 62,75 juta. Nilai itu sedikit melebihi nilai yang ditargetkan yakni Rp 62,5 juta. Meskipun demikian, Riyanto mengaku belum pernah menghitung Break Event Point (BEP) dari kegiatan pembibitan ini. “Kami hanya menggunakan dana yang telah dianggarkan dan berkontribusi untuk PAD,” ujarnya.
Performa Khas
Kambing PE yang dipelihara di satker Sumberejo cukup khas dan berbeda dengan kambing PE lainnya. Hal tersebut tercermin pada warna hitam yang hanya ditemukan pada kepala kambing, sementara tubuhnya berwarna putih.
Kepala BPBTRJawa Tengah Suyatno, menjelaskan, kambing PE kepala hitam merupakan hasil seleksi yang dilakukan pihaknya. “Sebenarnya tidak ada tujuan tertentu mengenai seleksi tersebut. Tapi kami ingin membidik pasar yang lebih menyukai kambing PE kepala hitam,” jelasnya.
Kegiatan Pendukung
Guna mendukung kegiatan pembibitan kambing PE, Suyatno memiliki target di tahun ini agar tingkat kelahiran kambing PE dapat mencapai 70 % dari jumlah induk atau sekitar 33 ekor anak. Juga ada penambahan induk seperti tahun lalu sebanyak 10 ekor yang terdiri atas 1 ekor jantan dan 9 ekor betina. Sedangkan untuk Idul Adha tahun ini, rencananya ada 15-20 ekor anak kambing PE yang akan dijual dan diharapkan bisa tersebar di masyarakat.
Sedangkan untuk program jangka panjang akan melakukan pemurnian dan peningkatan mutu bibit ternak lokal ruminansia Jawa Tengah yang telah ditetapkan yaitu kambing PE, sapi PO, sapi jabres, domba batur, dan domba wonosobo. “Kami pun berencana mengusulkan beberapa ternak lainnya sebagai bagian ternak lokal Jawa Tengah seperti kambing kejobong dan kerbau,” ungkap Suyatno.