Pencapaian swasembada 5 komoditas pada tahun 2017 membutuhkan berbagai rekayasa dalam konteks kelembagaan, sehingga seluruh pelaku yang di dalamnya dapat bekerja dengan kondusif. Salah satu aksi kelembagaan yang mendesak dilakukan adalah pembenahan organisasi petani. Satu penelitian telah dilaksanakan di PSEKP tahun 2014 berkenaan dengan topik ini, dan telah diseminarkan pada awal Desember 2014.
Secara umum ada 3 level organisasi petani yang perlu dibenahi, yakni level organisasi individual (individual organization), organisasi koordinasi (inter-group organization), dan organisasi pendukung (supporting group). Ketiga level ini relatif agak berhimpit dengan pemilahan berdasarkan wilayah yakni dusun, desa dan kabupaten.
Pertama, pilihan untuk organisasi individual yang berbasiskan di level dusun adalah kelompok tani, kelompok wanita tani, kelompok tani berdasarkan komoditas, dan koperasi primer. Keberadaan organisasi ini tetap dibutuhkan ke depan.
Dua, organisasi koordinator (inter-group organization). Organisasi koordinator adalah sebuah organisasi yang posisinya berada di atas individual organization, yang berperan sebagai koordinator, menyatukan kegiatan dan sumberdaya, melayani kebutuhan organisasi, dan mewakili segala kebutuhan organisasi ke luar. Pilihan organisasi koordinator adalah Gapoktan atau koperasi sekunder, namun Gapoktan tidak akan bisa memiliki badan hukum.
Tiga, untuk organisasi pendukung, selama ini hanya dinas dan Badan penyuluhan. Ke depan, sangat berpotensi untuk mengoptimalkan peran organisasi petani di level kabupaten, yaitu KTNA serta berbagai asosiasi (asosiasi individual petani misalnya asosiasi petani organik, asosiasi Gapoktan sekabupaten, asosiasi komoditas, dll).
Sementara, organisasi untuk menjalankan fungsi-fungsi agribisnis, selama ini, tipe relasi yang menjalankan fungsi-fungsi agribisnis mengandalkan pada kemampuan sendiri. Relasi kolektif (melalui KT dan Gapoktan) baru sebatas pemenuhan pupuk dan benih. Ke depan, relasi-relasi berbasiskan aksi kolektif melalui organisasi formal lebih didorong. Namun demikian, beberapa fungsi agribisnis tidak harus selalu dijalankan secara kolektif. Pemenuhan sumber teknologi dalam konteks pengetahuan misalnya, mengharapkan petani yang lebih proaktif, yakni dengan mencari sumber pengetahuan sendiri melalui berbagai media serta dapat pula melalui Posluhdes.
Untuk menciptakan organisasi petani yang kuat, dibutuhkan hal-hal berikut, yaitu: Pertama, dari sisi teknis, dibutuhkan penyatuan berbagai organisasi-organisasi yang kecil menjadi ckup besar hingga mencapai skala ekonomis secara manajemen dan ekonomis. Sebagai contoh, untuk organisasi yang bergerak dalam urusan permodalan (simpan pinjam) setidaknya saat ini ada LKMA-PUAP di Gapoktan, LDPM di Gapoktan, LPM di KT, koperasi komoditas, dan KUD. Masing-masing beroperasi dalam skala terbatas, sehingga tidak mampu menghidupi diri sendiri. Agar sustainable semuanya sebaiknya disatukan, karena sesuai dengan UU No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, harus segera memiliki badan hukum (koperasi atau BPR).
Dua, dari sisi struktural, masing-masing intansi pemerintah mesti menghilangkan sifat ego sektoralnya. Tiga, dari sisi psikologis, sikap bahwa organisasi petani adalah milik petani, memberi kesempatan kepada mereka untuk tumbuh dan berkembang (learning organization). Berbagai kebijakan terbaru (terutama UU LKM, UU P3, UU Pangan) telah memberikan kesempatan petani untuk "memiliki dirinya sendiri", bukan lagi "milik" pemerintah. Empat, dari sisi legislasi, dibutuhkan pelurusan konsep, konsistensi, penjelasan lebih detail, terutama berkenaan dengan perbedaan antara "lembaga" dan organisasi". Jangan hanya mendirikan organisasi, tapi harus membangun kelembagaan. Kelembagaan mencakup aspek regulatif, aspek regulatif, aspek kultural kognitif, ditambah aspek keorganisasian. Organisasi petani tidak bisa berkembang jika lingkungan kelembagaannya tidak kondusif.
.