Krisan (Dendrathema grandiflora Tzvelev syn. Chrysanthemum murifolium Ramat) merupakan salah satu bunga potong dan bunga pot yang digemari oleh masyarakat terutama di kalangan menengah ke atas. Permintaan krisan potong terus meningkat di dalam negeri maupun untuk ekspor. Pasokan bunga krisan di pasar dunia didominasi pelaku usaha yang berasal dari Belanda, Columbia dan Italia. Hal ini mencapai total ekspor 60% dari perdagangan dunia. Sementara negara lain hanya mampu memasok sekitar 10% dari total permintaan dunia (Pustaka Jawatimuran 2008).
Permasalahan utama dalam usahatani bunga krisan ialah serangan penyakit karat putih dan rusaknya lahan pertanian, akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang terus menerus. Penyakit karat putih yang disebabkan oleh Puccinia horiana Henn., merupakan penyakit yang paling penting pada tanaman krisan, sebab kehadirannya merusak daun secara nyata dan menurunkan kualitas bunga. Serangan pada daun yang terdapat di sekitar bunga menurunkan nilai estetika dan komersial bunga hingga 100% (Ellis 2007).
Petani di Indonesia, pada umumnya melakukan pemupukan dan upaya pengendalian penyakit karat putih pada krisan menggunakan pupuk dan fungisida kimia sintetis. Penggunaan pupuk dan pestisida sintetis selain dapat menimbulkan kerusakan tanah, resistensi dan resurgensi pada patogen target, juga menyebabkan residu yang dapat membahayakan kesehatan para pelaksana dalam pembudidayaan tanaman tersebut.
Tindakan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pemberlakuan ISO 14000 dalam era globalisasi dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 tentang jaminan kesehatan dan keamanan lingkungan selama proses produksi, mewajibkan bagi produsen untuk mencari alternatif pengendalian penyakit (budidaya) tanaman yang ramah lingkungan, tidak berbahaya bagi kesehatan, berhasil guna dan berdaya guna.
Penerapan budidaya tanaman ramah lingkungan telah didukung pemerintah dan masyarakat petani di Indonesia. Pemerintah telah mencanangkan program gerakan “Pertanian organik atau Green Agriculture” yang dimulai pada tahun 2010, sedangkan petani telah menerapkan pertanian organik sejak dulu kala. Dalam penerapan pertanian organik, petani di Indonesia diharapkan akan semakin berdaya dan mandiri dalam mengelola lahan pertaniannya. Keberdayaan petani dicirikan dengan timbulnya kesadaran bahwa mereka paham akan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta sanggup menjalankan kewajiban dan tanggungjawab untuk tercapainya kualitas lingkungan hidup yang dituntutnya. Di lain pihak kemandirian akan mendorong petani agar mempunyai kemampuan, berkehendak dan menjalankan inisiatif untuk menghadapi masalah lingkungan di sekitarnya (Yayasan Insan Sembada 2012).
Penggunaan bakteri perakaran pemicu pertumbuhan tanaman (BP3T) atau Plant Growth Promoting Rhizobactreria (PGPR) merupakan salah satu cara melaksanakan program pertanian organik. BP3T telah digunakan sebagai bahan aktif pada pembuatan pupuk dan pestisida hayati (Siddiqui 2006). Penggunaan BP3T dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan pestisida, juga akan mengurangi dampak pencemaran air tanah dan lingkungan yang timbul akibat pemakaian pupukdan pestisida kimia berlebihan. Oleh karena itu, aplikasi biofungisida dan pupuk hayati berbahan aktif BP3T merupakan alternatif penggunaan sarana produksi yang disarankan.
BP3T dilaporkan juga dapat berperan sebagai bakteri pemicu pertumbuhan yang dapat menginduksi ketahanan tanaman. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri ini pada tanaman inangnya dapat mempengaruhi perkembangan fisiologi tanaman dan memberikan ketahanan terhadap penyakit (Shimizu et al. 2006). Interaksi antara tanaman dan BP3T dapat berupa simbiosis mutualisme yang melibatkan adanya jalur biokimia di mana bakteri tersebut dapat menghasilkan hormon pertumbuhan tanaman yang sesuai seperti indole-3-acetic acid (IAA), gibberellic acid dan cytokinin, sementara tanaman menyediakan kenyamanan dan perlindungan bagi BP3T dari tekanan lingkungan dan kompetisi antagonistik dari mikroorganisme lainnya (Leeet al. 2005). Dengan adanya BP3T ini, penggunaan bahan pencemar berbahaya yang diakibatkan dari penggunaan pupuk an organik dan pestisida, yang berlebihan dapat diminimalisir.
Dalam makalah ini diuraikan perihal penyakit karat putih pada tanaman krisan, prinsip pengendalian penyakit ramah lingkungan menggunakan BP3T, peran, keunggulan dan potensi ekonomi BP3T; serta strategi, peluang dan tantangan pengendalian penyakit dan penerapannya menyongsong era MEA 2015.
Penyakit Karat Putih
Penyakit penting pada tanaman krisan yang diketahui sangat merugikan ialah penyakit karat. Di Indonesia dikenal dua jenis penyakit karat, yaitu karat coklat disebabkan oleh Puccinia chrisanthemi dan karat putih yang disebabkan oleh Puccinia horiana (Suhardi 2009). Dari dua jenis penyakit karat tersebut, karat putih dinyatakan yang paling merugikan, bahkan di beberapa negara produsen krisan, seperti Jepang, Belanda dan Amerika, penyakit karat putih termasuk penyakit yang dicegah masuk. Cegah masuk terhadap penyakit karat putih dituangkan dalam peraturan Phytosanitary yang sangat ketat.
Gejala penyakit biasanya mudah terlihat di bagian bawah permukaan daun, berupa pustul yang berwarna putih kemudian berubah warna menjadi coklat. Perkembangan penyakit diawali dengan penempelan uredospora/teliospora pada permukaan bawah daun melalui percikan air, kemudian diikuti dengan pembentukan bintik-bintik berwarna putih. Bintik-bintik tersebut selanjutnya berkembang menjadi pustul kecil berwarna putih. Seiring dengan perkembangan waktu, pustul-pustul membesar yang dalam stadia lanjut dan berubah warna menjadi coklat. Di dalam pustul tersebut terkumpul massa teliospora yang siap menyebar ke tanaman lain melalui angin, air maupun serangga. Gejala pustul akan timbul dalam waktu 5-13 hari setelah infeksi (Gambar 1). Menurut Suhardi (2009) patogen penyakit karat putih menghasilkan dua jenis spora, yaitu teliospora yang merupakan spora rehat serta basidiospora yang dihasilkan oleh teliospora yang telah berkecambah. Teliospora berukuran 14,5 x 41,5 µm, hialin kuning terang dan terdiri atas dua sel ramping pada sekatnya (Gambar 2).
P. horiana dapat bertahan hidup lama pada sisa-sisa tanaman. Sentra produksi krisan di Indonesia merupakan daerah endemik penyakit karat. Penyakit ini dilaporkan dapat terbawa angin hingga mencapai ribuan kilometer dari sumber inokulum. Hasil penelusuran asal muasal penyakit diketahui bahwa penyakit ini diduga berasal dari luar negeri yang masuk ke Indonesia bersama dengan introduksi materi perbanyakan. Hingga kini belum ada laporan yang menyatakan adanya varietas tanaman krisan yang sangat resisten terhadap penyakit karat. Beberapa varietas resisten yang diintroduksikan dari luar negeri ternyata menjadi rentan setelah ditanam di Indonesia beberapa musim di lapangan.
Pengendalian Ramah Lingkungan
Pengendalian penyakit tanaman ramah lingkungan merupakan sistem pengendalian penyakit yang mengelola seluruh sumberdaya pengendalian dan inputnya secara bijak, berbasis inovasi teknologi untuk menekan penyakit hingga ke tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi, diterima secara sosial budaya dan beresiko rendah atau tidak merusak lingkungan (Balitkabi, 2013). Adapun prinsip pengendalian yang ramah lingkungan adalah sebagai berikut.
Prinsip pengendalian penyakit tanaman ialah mengelola insidensi penyakit hingga ke tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi. Namun dalam kenyataannya tingkat toleransi konsumen terhadap insidensi penyakit sangat rendah. Bahkan pada beberapa komoditas tanaman hias, konsumen menginginkan produk yang dibelinya bebas penyakit. Dengan kata lain nilai ambang ekonomi untuk penyakit pada tanaman hias adalah nol. Kondisi demikian sangat ekstrim, tetapi umumnya berlaku untuk komoditas tanaman hias yang akan diekspor. Sementara kebutuhan untuk pasar lokal, nilai ambang ekonomi yang diinginkan berada di atas nol. Jadi nilai toleransi pasar lokal agak tinggi.
sumber (http://tabloidsinartani.com/read-detail/read/bakteri-ajaib-pemicu-pertumbuhan-tanaman-krisan/)