Memelihara dan melayani kebutuhan sidat dengan hati. Bekerja memelihara sidat karena menyukai atau mencintai.
DUA kata tersebut merupakan moto yang terpampang di pintu masuk satu rumah di bantaran sungai Jali. Rumah yang terletak di Desa Tunggulrejo kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo tersebut bukan rumah biasa. Meskipun luas, namun bukan manusia yang menghuninya, melainkan ribuan ekor sidat (Anguilla sp).
Sidat adalah sejenis belut, namun bentuknya lebih panjang dan besar. Ada yang mencapai 50 cm. Memang tidak enak dilihat. Tapi siapa sangka, konsumen asing menganggap cita rasa sidat enak dan memiliki kandungan gizi yang tinggi.
Sejak beberapa tahun terakhir rumah tersebut tidak lagi dihuni manusia. Syaiful, pemilik rumah tersebut mengubah rumahnya menjadi kandang sidat. Belasan kolam berbagai ukuran mengisi bagian dalam dan luar rumah. Masing-masing kolam berisi air dan ratusan ekor sidat berbagai ukuran.
M Gufron (19) karyawan yang bertugas merawat dan menjaga sidat mengungkapkan, sidat-sidat tersebut merupakan sidat yang harus dibesarkannya. Setelah dewasa dan beratnya mencukupi, pemilik sidat akan mengekspor sidat tersebut ke luar negeri.
"Nantinya sidat akan diekspor ke Jepang. Di sana, sidat yang telah diolah harganya bisa mencapai sekitar Rp 200 ribu per kilonya. Namun untuk saat ini peternakan belum panen," jelas Gufron ketika ditemui di peternakan sidat, Rabu (6/2/2013).
Menurutnya, sidat mulai bisa dipanen ketika telah memiliki berat seekornya 100-200 gram. Dengan masa pemeliharaan 6-8 bulan, bibit sidat bisa tumbuh menjadi sidat siap jual.
Remaja yang tinggal tidak jauh dari peternakan sidat ini mengatakan, pemilik usaha peternakan tertarik memelihara sidat karena harganya yang bagus. Selain itu permintaan dari luar negeri sangat tinggi; mencapai 200 kilogram per bulannya.
Untuk memelihara sidat, Gufron melanjutkan, tidak terlalu sulit. Ia hanya merawat bibit sidat yang ditangkap oleh Rojikan (60) ayahnya. Bibit sidat yang telah ditangkap kemudian dimasukkan ke kolam dan dipelihara.
"Harus rutin memberi makan sidat dengan pelet dari daging ikan kakap. Satu kolam berisi 100-200 sidat biasanya menghabiskan sekitar 25 kilo pelet untuk tiga hari," jelasnya.
Setiap kolam terdapat saluran air yang terus menerus mengalir karena dipompa. Dua jet pump dan empat unit pompa air ukuran sedang tidak hentinya memompa air setiap hari. Menurut Gufron, disinilah terletak kesulitannya. Apabila listrik mati dan air tidak mengalir, kolam bisa segera keruh. Hal ini cukup membahayakan kesehatan sidat.
"Karena itu saya berharap ngak ada listrik mati. Kalaupun mati, jangan lama-lama. Sidat bisa mati," katanya.
Rojikan menyambung, budidaya sidat yang ada di wilayah desanya memberikan tambahan penghasilan untuk warga sekitar. Sejak ada peternakan sidat tersebut, ia dan beberapa warga desa memiliki pekerjaan sampingan menangkap sidat dari sungai Jali.
"Setiap harinya kami mencari bibit di sungai. Kalau bukan musimnya, setiap hari rata-rata bisa menangkap sekitar setengah kilogram bibit sidat. Tapi kalau lagi musimnya, bisa sampai dua kilo," jelas Rojikan ditemui di tempat yang sama. Hasil tangkapan bibit sidat kemudian dijual kepada pemilik peternakan. Setiap kilogram bibit sidat dihargai sekitar Rp 120 ribu.
Datangnya musim hujan tidak menghalangi usaha Rojikan dan rekan-rekannya untuk mencari sidat di sungai Jali. Menurutnya, ketika musim hujan sidat malah gampang ditangkap karena sering muncul ke permukaan dalam jumlah banyak.
"Biasanya kalau baru ditangkap warnanya coklat. Tapi nanti kalau sudah lama dipelihara di kolam, warnanya jadi gelap," jelasnya.
Gufron menyambung, rasio hidup sidat sangat tinggi, sekitar 90 persen, karena punya data tahan kuat terhadap penyakit. “Dengan kerja sama anak dan ayah, diharapkan budi daya ikan sidat bisa memenuhi pasar saat ini,” pungkasnya. (Rento Ari Nugroho)