Penyediaan pangan bukan hanya persoalan bangsa Indonesia, tapi juga dunia. Apalagi upaya peningkatan produksi pangan, khususnya padi (beras) juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangannya makin besar.
Sebut saja, tantangan jumlah penduduk yang makin bertambah, berkurangnya kesuburan lahan, berkurangnya air, bahkan berkurangnya tenaga kerja. Kondisi tersebut makin diperburuk dengan perubahan iklim. IRRI memperkirakan permintaan beras dunia tahun 2035 mencapai 116 juta ton.
Tantangan paling besar yang kini dihadapi dalam peningkatan produksi pangan adalah kondisi iklim yang makin sulit ditebak. Fenomena alam yang dinamis tidak dapat dihindari akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK).
Dampak langsung dari perubahan iklim tersebut berpengaruh terhadap fisiologis tanaman dan ternak, serta sosial ekonomi petani. Dampak ikutannya adalah kekeringan, banjir, salinitas dan ledakan hama/penyakit.
Hasil kajian, naiknya temperatur 1 derajat celcius akan menurunkan produksi padi hingga 10% dan naiknya muka air laut 1,8 meter diprediksi akan mempengaruhi 28.098 hektar (ha) tanaman padi.
“Indonesia termasuk negara yang rawan perubahan iklim,” kata Kepala Pusat Penelitan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Ali Jamil saat Seminar Terobosan Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim Mendukung Kedaulatan Pangan di BB Padi Sukamandi, Subang, beberapa waktu lalu.
Catatan Balitbang Pertanian, kebanyakan daerah pantai di bagian barat Sumatera, selatan Jawa dan timur Papua adalah rawan terhadap perubahan iklim. Kondisi Bio-physics rawan terhadap naiknya muka air laut.
Akibat perubahan iklim tersebut, Balitbang Pertanian memprediksi, luas pertanaman padi yang terkena kekeringan selama periode 2015-2016 untuk musim tanam (MT) Oktober-Maret sekitar 67.212 ha dan April-Juli seluas 14.245 ha. Sedangkan, potensi lahan padi yang terkena banjir di seluruh Indonesia seluas 182.102 ha. Daerah terluas yakni Jawa Barat 42.580 ha, lalu Aceh 32.580 ha, Jawa Tengah 27.767 ha, Jawa Timur 22.112 ha dan Sulawesi Selatan 8.611 ha.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Andi E. Sakya juga mengingatkan, dampak negatif perubahan dan pergeseran iklim adalah terjadinya kekeringan berkepanjangan dan bertambahnya wilayah rentan. Frekwensi bencana hidro-meteorologis di Indonesia juga akan makin mendominasi jenis bencana yang terjadi. “Secara sektoral, terutama pertanian akan berpengaruh pada pola tanam, ketahanan pangan yang kemudian berpengaruh pada ketahanan nasional,” ujarnya.
Namun kondisi anomali iklim yang terjadi saat ini tidak dipahami petani. Akibatnya, petani gagal mengantisipasi kekeringan dan banjir, sehingga terjadi gagal panen yang berujung pada kerugian petani meningkat. Untuk membantu petani mengantisipasi perubahan iklim, BMKG memberikan pelatihan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Mengadaptasi.
“Dengan pelatihan ini kami berharap petani dapat mengantisipasi perubahan dan variabilitas iklim lokal,” katanya. Kegiatannya adalah mengamati, menghubungkan menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan.
Sumber (http://tabloidsinartani.com/read-detail/read/teknologi-padi-bertahan-di-tengah-cekaman-iklim/)