SERTIFIKASI BENIH HANYA UNTUK BENIH BINA,
BAGAIMANA KELANJUTAN PEREDARAN BENIH NON BINA?
Penulis : Wahyu Abidin Shaf, SP
Balai Serifikasi Perbenihan Tanaman Perkebunan dan Kehutanan
Berkaca pada kasus yang terjadi pada UPTD Perbenihan Jawa Tengah, benih siap tanam kelapa dalam non bina yang dilaksanakan proses pemeriksaan lapang, diberi surat keterangan mutu benih dan berlabel warna merah jambu dinilai penegak hukum tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Permentan SOP sertifikasi benih tidak cukup sebagai dasar pelaksanaan kegiatan tersebut. Lalu bagaimana nasib benih non bina di masa yang akan datang?
Pengadaan benih bina telah diatur dalam undang-undang nomor 12 tahun 1992 tentang sitem budidaya tanaman. Pengadaan benih dimulai dari proses pemuliaan tanaman, pelepasan varietas, hingga sertifikasi benih.
Benih bina yang beredar dipasaran telah melalui proses panjang hingga berada di tangan petani. Proses produksi benih yang diatur melalui undang-undang hingga peraturan menteri ditujukan untuk melindungi konsumen dan produsen benih. Dipastikan bahwa benih yang ditanam, oleh petani merupakan benih bermutu hingga diharapkan menghasilkan produksi sesuai dengan harapan.
Pengadaan benih melalui proses pemuliaan tanaman dapat dilaksanakan oleh pemerintah, atau perorangan dan badan hukum berizin. Hasil pemuliaan ini kemudian harus dilepas oleh pemerintah sebelum diedarkan sebagaimana tercantum pada pasal 12 ayat (1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah.
Benih hasil pemuliaan ini berada di bawah pengawasan dan pembinaan pemerintah. Berdasarkan pasal 13. Ayat (1) Benih dari varietas unggul yang telah dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), merupakan benih bina. (2) Benih bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah. (3) Benih bina yang lulus sertifikasi apabila akan diedarkan wajib diberi label.
Pelarangan peredaran benih ditujukan kepada benih yang berasal dari hasil pemuliaan tanaman atau introduksi yang belum dilepas oleh pemerintah seperti pada pasal 12 ayat (2). Hasil pemuliaan tanaman tersebut perlu dilakukan pengaturan dalam peredarannya karena tanpa pelepasan oleh menteri yang didalamnya terdapat berbagai syarat dan uji dikhawatirkan menimbulkan hal yang tidak baik untuk lingkungan hidup maupun kerugian bagi manusia. Dengan pelepasan dan proses pengawasan benih oleh pemerintah diharapkan adanya perlindungan terhadap konsumen atau pengguna barang.
Pengaturan peredaran benih ini juga terkait dengan perlindungan terhadap perakit varietas. Berdasarkan laporan akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Perlindungan Varietas Tanaman Lokal Dalam Hukum Nasional dan Internasional bahwa dalam rangka mendukung kegiatan pemuliaan tanaman dan memberikan situasi kondusif bagi perkembangan industri perbenihan nasional, maka pada tanggal 20 Desember Tahun 2000 telah disahkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT). Berdasarkan Pasal 1.1 UU PVT dikatakan bahwa Perlindungan varietas tanaman selanjutnya disingkat PVT, adalah Perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemulia tanaman. Perlindungan semacam itu akan mendorong semangat dan kreativitas di bidang pemuliaan tanaman, sehingga dapat dihasilkan penemuan berbagai varietas unggul yang sangat diperlukan masyarakat.
Lalu bagaimana dengan produksi dan peredaran benih non bina?
Produksi benih non bina tidak diatur dalam undang-undang no 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Kewajiban pemerintah akan peredaran benih hanya barlaku untuk benih bina.
Peredaran benih non bina telah terjadi secara alami selama ratusan hingga jutaan tahun ketika tumbuhan tercipta. Benih barupa biji maupun bagian tanaman lain dapat berpindah tempat melalui hewan, manusia dan aliran alam seperti angin dan air. Begitu juga proses “pemuliaan tanaman” dilakukan oleh alam melalui persilangan alami, maupun mutasi genetika oleh materi mutagen yang terdapat di alam seperti radiasi ultraviolet, zat radioaktif, kilatan listrik petir dan lain sebagainya.
Pemuliaan tanaman dan peredaran benih secara alami tersebut berjalan sesuai dengan hukum alam dan proses alami tanpa rekayasa manusia memungkinkan hasilnya tidak merugikan alam secara drastis. Proses yang terjadi sangat lambat dibandingkan dengan proses buatan manusia. Tanaman hingga saat ini yang melalui proses “pemuliaan tanaman“ alami dan peredaran benih alami jika beredar dimungkinkan tidak membahayakan bagi lingkungan.
Dengan campur tangan manusia peredaran benih non bina saat ini dapat dilakukan secara massif dan cepat melalui perdagangan. Proses perdagangan ini tidak lepas dari aturan yang berlaku. Salah satu peraturan yang berkaitan dengan perdagangan benih non bina adalah Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen berhak mendapatkan benih bermutu. Sesuai dengan pasal 8 ayat (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan.
Standar yang dipersyaratkan untuk benih telah diatur dalam undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri dan sistem standarisasi nasional/SNI. Benih berstandar adalah benih yang bermutu. Berdasarkan penjelasan pasal 8 UU No 12 tahun 1992. Benih bermutu mempunyai pengertian bahwa benih tersebut varietasnya benar dan murni, mempunyai mutu genetis; mutu fisiologis, dan mutu fisik yang tinggi sesuai dengan standar mutu pada kelasnya. Varietas unggul adalah varietas yang memiliki keunggulan produksi dan mutu hasil, tanggap terhadap pemupukan, toleran terhadap hama penyakit utama, umur genjah, tahan terhadap kerebahan, dan tahan terhadap pengaruh buruk (cekaman) lingkungan.
Standar benih yang diatur dalam system standarisasi nasional seperti pada SNI benih jambu mete (Anacardium occidentale L) SNI 01-07154-2006 bahwa peryaratan pohon induk sumber benihnya merupakan varietas unggul yang sudah dilepas. Dengan kata lain benih merupakan benih bina.
Standar benih yang dipersyaratkan oleh undang-undang adalah benih bina. Sehingga benih non bina bukanlah benih standar tidak boleh memproduksi dan/atau memperdagangkan. Sanksi pidana terhadap pelanggaran pasal tersebut. Sanksi terhadap pelanggaran terdapat pada pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Melihat peraturan yang ada proses sertifikasi benih non bina tidak dapat dilaksanakan sebelum adanya payung hukum pelaksanaannya.